Hijab Budaya Arab?

Melihat pada masa sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad saw, kebudayaan Arab belum mengenal yang dinamakan hijab syar’i dengan ketentuan seperti sekarang.

Apalagi budaya manusia sebelumnya, sebagaimana yang kita tahu manusia primitif hanya berpakaian seadanya, menutup hanya apa yang penting dan vital untuk ditutup.

Tidak hanya itu, pola interaksinya pun tidak detail, lelaki dan wanita bebas berkumpul, bahkan bebas untuk melampiaskan syahwat dan nafsunya, itu masa lalu.

Saat itu manusia dan hewan hanya sedikit bedanya, mungkin hanya pakaian minim itu yang membuat manusia lebih terlihat beradab, tapi perilakunya hampir sama.

Sampai datang abad peradaban yang tinggi, yang diinspirasi oleh Islam. Kaum wanita diangkat pada posisi yang sangat mulia, salah satunya ditandai oleh pakaiannya.

Wanita Allah wajibkan untuk mengenakan hijab, yang menutupi auratnya, memuliakan dirinya, menjadikan dirinya sebagai hamba Allah bukan hamba syahwat dan nafsu.

Allah juga atur pola interaksinya, agar hanya lelaki yang baik dan bertanggung jawab yang boleh mendekati wanita, satu-satunya cara yaitu menikahinya, dengan jantan dan benar.

Baca Juga:  Mengingati diri Dengan Maulid Nabi

Peradaban Islam memberitahu kita bahwa wanita punya sektor privat, tempat dimana mereka bisa beraktivitas dengan bebas, tanpa harus khawatir gangguan dari lelaki.

Allah jadikan baginya kemuliaan untuk menuntut ilmu, juga berdakwah di jalan Allah. Hingga mereka tak lagi dinilai hanya dari kemolekan dan indahnya paras, tapi akhlak.

Bila ada yang memasalahkan, dengan mengatakan hijab adalah budaya Arab, ada beberapa kemungkinan, entah kurang paham sejarah, entah karena benci, atau memang kurang ilmu.

Sebab menutup aurat adalah tanda tingginya peradaban, juga indikasi ketaatan. Sebab hijab tidak hanya identitas Muslimah, tapi juga syiar agama, betapa Islam memuliakan wanita.