Ulasan Puisi “Buka Matamu Buka” Karya Bu Hadijah, S.Pd

Ulasan Puisi “Buka Matamu Buka” Karya Bu Hadijah, S.Pd

Sebuah puisi bernada otokritik dan kritik sosial karya seorang guru SMPN 1 Mande, Bu Hadijah. Puisi ini sengaja dibuat untuk dibacakan dalam momen readathon edisi tiga bahasa.

Admin web merasa terenyuh dan terpanggil jiwanya untuk mengulasnya, walau secara sederhana dan penuh kekurangan. Yuk kita ke TKP🤭

Buka matamu buka

Buka matamu buka…
Jerit itu ada
Dari sebuah sengsara

Rasa
Terasa
Sakit di rongga
Kian menganga

Buka matamu buka …
Timpa lapar
Tak berkesudahan
Buncit sakit
Usus melilit
Kunyah tak bersih
Cipta penyakit

Buka matamu buka …
Tidur
Di atas trotoar
Kedinginan…
Angin malam
Kepanasan…
Sorot matahari
Tak jelas rupa badan

Buka matamu buka …
Di pinggiran jalan
Kadang ke tengah jalanan
Berebut dengan keringat
Asongkan plastik
Bekas permen
Tuk dapat belas kasihan
Menunggu uang recehan
Dari pemberi yang ikhlas
Ini penyakit malu yang hilang?
Atau sebuah kebutuhan?

Tanggung jawab siapa?
Aku?
Kita?
Merka?

Mari sumbang sedikit
Cara
Solusi
Biar tak begini

Ulasan Puisi Buka Matamu Buka

Puisi berjudul “Buka Matamu Buka” karya Bu Hadijah, S.Pd, merupakan sebuah potret yang mendalam dan menyentuh tentang kondisi sosial yang sering kali diabaikan. Puisi ini menggugah kesadaran pembaca untuk lebih peka terhadap penderitaan yang terjadi di sekeliling kita, terutama mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Baca Juga:  Sisi Lain IHT, Lukisan Wajah Pemateri oleh Pak Aden Salman

Tema dan Makna

Tema utama dari puisi ini adalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Frasa berulang “Buka matamu buka” berfungsi sebagai seruan yang kuat agar kita, sebagai masyarakat, membuka mata terhadap realitas pahit yang sering kali kita acuhkan. Penderitaan, kelaparan, dan ketidakpastian hidup menjadi gambaran yang nyata dalam setiap baitnya.

Puisi ini tidak hanya menggambarkan penderitaan fisik, tetapi juga melukiskan penderitaan mental yang dirasakan oleh mereka yang terpinggirkan.

Melalui bait “Tidur di atas trotoar / Kedinginan… / Angin malam / Kepanasan… / Sorot matahari”, Bu Hadijah menampilkan bagaimana para tunawisma harus bertahan di tengah kerasnya alam tanpa perlindungan yang layak.

Diksi dan Gaya Bahasa

Pemilihan diksi dalam puisi ini sangat tepat untuk menyampaikan perasaan pedih dan keputusasaan. Kata-kata seperti “jerit”, “sengsara”, “sakit di rongga”, dan “melilit” memberikan kesan mendalam akan penderitaan yang dialami oleh subjek dalam puisi ini.

Penggunaan majas personifikasi pada “timpa lapar / tak berkesudahan” dan “sorot matahari / tak jelas rupa badan” memperkuat kesan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh mereka yang hidup di jalanan.

Baca Juga:  Bedah Puisi Karya Bu Nina: Karena Rasa Sesal Susah Sirna

Pengulangan frasa “Buka matamu buka” bukan sekadar untuk menambah kekuatan retorika, tetapi juga menggambarkan urgensi dari pesan yang ingin disampaikan. Ini adalah panggilan bagi pembaca untuk melihat lebih dekat dan lebih peduli.

Kritik Sosial

Salah satu kekuatan puisi ini terletak pada kritik sosialnya yang jelas namun tidak terkesan menghakimi. Dalam bait “Tanggung jawab siapa? / Aku? / Kita? / Mereka?” Bu Hadijah mengajak pembaca untuk merenung tentang tanggung jawab kita sebagai individu dan sebagai masyarakat dalam menghadapi masalah kemiskinan dan ketidakadilan.

Pertanyaan ini menjadi sentral dalam membangun kesadaran kolektif. Apakah kemiskinan adalah masalah yang harus dibiarkan? Ataukah kita, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki tanggung jawab moral untuk mencari solusi? Bu Hadijah menutup puisi ini dengan sebuah ajakan: “Mari sumbang sedikit / Cara / Solusi / Biar tak begini”, yang mengingatkan bahwa setiap orang dapat berkontribusi, meskipun dalam skala kecil.

Kesimpulan

Puisi “Buka Matamu Buka” adalah sebuah karya yang penuh makna dan perenungan. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh daya, Bu Hadijah berhasil menyentuh nurani pembaca dan mengajak mereka untuk lebih peduli terhadap penderitaan sesama.

Baca Juga:  Ucapan Terima Kasih dari Pak KS, Waka Kurikulum, dan Waka Kesiswaan atas Terselenggaranya Semarak Bulan Bahasa

Karya ini bukan sekadar sebuah kritik sosial, melainkan juga sebuah panggilan moral untuk bergerak bersama dalam menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketidakadilan.

Profil Penulis

Deni Kurnia
Deni Kurnia
Seorang Pembelajar, Tak Lebih.

www.abufadli.com

Bagikan:

Related Post